Ada yang mencuri perhatian dalam perayaan Karnaval Kemerdekaan HUT RI ke-80 yang digelar meriah di wilayah Desa Sukamulya, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Minggu (17/08/2025). Bukan marching band atau barisan mobil hias seperti biasa, kali ini sebuah replika kapal perang raksasa bernuansa merah putih dengan logo Nahdlatul Ulama dan tulisan “Ponpes Mardhotillah” di lambungnya meluncur gagah di jalan desa, memancing decak kagum para penonton sepanjang rute karnaval.
Kapal perang yang menjadi ikon partisipasi Pondok Pesantren Mardhotillah, Sukamulya itu dibangun secara kreatif dari material sederhana: perpaduan triplek, terpal, dan kertas. Namun hasil akhirnya tak main-main. Detail dan proporsinya tampak apik, mencerminkan semangat, kekompakan, dan kerja keras para santri dan pengurus pondok. Inilah bentuk nyata cinta Tanah Air dari kalangan pesantren — menjadikan momentum kemerdekaan sebagai ajang menegaskan komitmen terhadap keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Kapal ini bukan hanya simbol kekuatan militer, tetapi juga sarat makna. Ia merepresentasikan “alutsista spiritual”, perlambang kesiapsiagaan umat Islam dalam menjaga keutuhan negara melalui nilai-nilai keimanan, ilmu, dan akhlak. Semangat ini selaras dengan nilai-nilai Nahdlatul Ulama yang dikenal moderat, toleran, namun tegas dalam mempertahankan NKRI.
Yang membuat penampilan mereka semakin unik dan berbeda dari peserta lain adalah penampilan sembilan santri yang didandani menyerupai sosok Wali Songo. Masing-masing merepresentasikan tokoh legendaris penyebar Islam di Nusantara seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, hingga Sunan Gunung Jati. Mereka berdiri gagah di atas replika kapal perang, lengkap dengan riasan khas, sorban, jubah, serta simbol-simbol dakwah yang membumi. Kapal pun diiringi oleh santri hadroh yang menabuh rebana dan melantunkan shalawat sebagai simbol “genderang perang” melawan kebodohan, kemiskinan, perpecahan, dan berbagai hal negatif yang mengancam bangsa dan agama.
Pimpinan Pondok Pesantren Mardhotillah, Ajengan Dian Wildan Hilmi, M.Pd., menjelaskan bahwa konsep kapal perang dan Wali Songo ini bukan sekadar atraksi seni, tapi bentuk syiar dan pesan dakwah. “Ini simbol bahwa kami siap berlayar di samudera perjuangan NKRI, dengan nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kompasnya. Wali Songo itu teladan dakwah yang santun, tegas, dan membumi. Kami ingin tunjukkan bahwa pesantren tak pernah absen dari perjuangan bangsa,” ujarnya.
Penampilan Ponpes Mardhotillah ini disambut hangat oleh masyarakat. Banyak warga dan peserta karnaval yang mengabadikan momen tersebut melalui ponsel mereka. Tidak sedikit pula yang memuji ide kreatif para santri yang mampu memadukan unsur seni, religiusitas, sejarah, dan nasionalisme dalam satu tampilan utuh dan mengesankan.
Di tengah karnaval yang kerap identik dengan hura-hura, penampilan Ponpes Mardhotillah menjadi napas spiritual dan pesan moral. Ia membuktikan bahwa santri bukan hanya ahli mengaji, tapi juga memiliki kreativitas tinggi, semangat kebangsaan yang membara, dan kepedulian terhadap nilai-nilai perjuangan.
Karnaval HUT RI ke-80 di Sukamulya pun ditutup dengan penuh kebanggaan, meninggalkan kesan mendalam bahwa kemerdekaan adalah hasil sinergi para pejuang — termasuk para ulama dan santri — yang harus terus dirawat dengan karya, doa, dan pengabdian.